Kamis, 08 Maret 2012

Pusat Bacaan / Pusat Perbelanjaan ?

Berkuliah di UI bisa dibilang salah satu hal yang membanggakan. Bagaimana tidak? Kampus ini membawa nama besar bangsa Indonesia, banyak orang-orang besar yang lulus dari sana, bla, bla, bla, ......, dan mempunyai perpustakaan pusat yang sangat besar dan megah. Wow.



Saat saya tercatat sebagai mahasiswa UI pada tahun 2009, perpustakaan ini belum selesai dibangun. Sempat terjadi kekhawatiran di antara teman-teman seangkatan, khawatir mereka tidak akan sempat memanfaatkan perpustakaan baru itu karena sudah terlanjur lulus. Namun kekhawatiran itu sirna karena ternyata perpustakaan selesai dibangun pada 13 Mei 2011. Langsung saja ketika ada tugas kuliah yang mengharuskan saya dan teman-teman mencari literatur, perpustakaan baru itulah yang menjadi tujuan kami.




"Gilaa, keren cooy..", "Gede amat nih tempat", "Buset, perpus apa mal nih?", hanyalah segelintir komentar yang keluar dari mulut mahasiswa yang baru memasuki bangunan perpustakaan ini. Ya, memang perpustakaan ini sungguh besar dan megah. Arsitektur modern minimalis dengan pemilihan warna monokromatik menjadikan perpustakaan ini sungguh futuristik. Kesan hi-tech pun terasa sangat kental di setiap sudut lokasi. Ditambah ratusan Mac yang tersebar di beberapa titik lokasi, kesan 'mahal' pasti timbul di benak para pengunjung. Namun dibalik semua keindahan dan kemegahan perpustakaan ini, ada satu pertanyaan dari teman yang juga menjadi pertanyaan saya, yaitu: "Perpus apa mal nih?".


Memang, perpustakaan ini dapat menampung hingga jutaan judul buku, dan mempunyai ruang baca dan belajar yang luas, fungsi dasar perpustakaan yang memang harus dipenuhi. Akan tetapi ada hal-hal yang lebih menarik perhatian saya sebagai civitas akademika UI, yaitu hadirnya banyak gerai-gerai komersial di dalam perpustakaan ini. Sebut saja Starbucks Coffee, eCosway, Times Bookstore, restoran-restoran, dan lain sebagainya, yang umumnya berada di pusat-pusat perbelanjaan.

Ya, bahkan 'virus' konsumerisme pun ada di sebuah perpustakaan. Sah-sah saja apabila UI melihatnya sebagai peluang bisnis untuk meningkatkan pemasukan bagi kampus, toh dengan adanya gerai-gerai tersebut mungkin saja membantu sebagian mahasiswa memenuhi kebutuhannya. Penat dengan aktivitas kampus, atau ingin berdiskusi mengenai tugas kuliah, sembari nongkrong dan menikmati kopi kelas premium bersama teman-teman, langsung saja datang ke Starbucks Coffee. Ingin membeli produk kebutuhan sehari-hari yang eksklusif dan berkualitas, eCosway menyediakannya. Atau mungkin ingin membeli buku-buku yang jarang ditemukan di toko buku biasa, ada Times Bookstore.







Seakan menambah fungsi utama sebuah perpustakaan sebagai pusat riset dan studi literatur, perpustakaan UI menjadikan beberapa spot strategis sebagai lahan bisnis. Tidak ada salahnya kok menjadikan sebagian area perpustakaan sebagai tempat berbisnis, asalkan fungsi-fungsi dasar sudah sepenuhnya disediakan. Tahukah bahwa musholla di perpustakaan UI hanya berukuran sekitar 3x3 meter persegi dengan karpet yang sepertinya tidak pernah dicuci sejak pertama kali dipasang? Lebih mengejutkan lagi, saat ini, dengan alasan keterbatasan area, musholla itu hanya diperuntukkan bagi wanita. Jadi apabila kaum adam ingin beribadah, mereka diminta untuk beribadah di Masjid UI. Jaraknya tidak terlalu jauh dari perpustakaan UI,
namun hal ini dirasa tidak efisien dan cukup merepotkan, karena harus keluar masuk gedung.

Satu lagi hal krusial yang menjadi keluhan banyak mahasiswa yang mengunjungi perpustakaan ini, yaitu stop kontak yang sangat sulit ditemui karena jumlahnya sangat sedikit. Stop kontak adalah kebutuhan utama bagi mahasiswa yang sedang mengerjakan tugas, browsing, maupun kegiatan lain yang menggunakan gadget mereka masing-masing. Ironis.

Saya jadi teringat pelajaran IPS yang saya dapatkan ketika saya masih duduk di Sekolah Dasar (SD). Manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi agar mereka dapat hidup sebagaimana mestinya, yaitu kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Kebutuhan primer-lah yang seharusnya pertama kali dipenuhi, karena itulah yang dibutuhkan manusia untuk bertahan hidup. Baru kemudian manusia dapat mempertimbangkan untuk memenuhi kebutuhan sekunder, dan kemudian kebutuhan tersier. Saya rasa Anda tahu apa yang saya maksud di paragraf ini.

Saran saya sebagai salah seorang civitas akademika UI yang turut menggunakan fasilitas kampus ini, alangkah baiknya dilakukan riset mengenai apa yang dibutuhkan oleh civitas akademika. Jangan sampai hal-hal dasar yang seharusnya tersedia secara memadai, harus terlupakan karena fokus dengan hal-hal lain yang tingkat kepentingannya lebih rendah. Meskipun demikian, pembangunan perpustakaan ini tetap memberikan kebanggaan tersendiri bagi saya, terlepas dari beberapa hal yang telah saya paparkan sebelumnya. Semoga perpustakaan ini dapat memberikan manfaat yang besar bagi civitas akademika, kampus, maupun bangsa Indonesia.

Sumber Gambar: Google dan Dokumentasi Pribadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar